Sikap Hacker Indonesia
Soal Ambalat
Oleh
Wahyono SK dan Tatang Kurniadi
Kemajuan teknologi komunikasi dan komputer telah melahirkan teknologi telemedia
yang menghadirkan berbagai informasi dari seluruh penjuru dunia, baik yang lalu
maupun yang aktual dan dapat diakses dalam bilangan detik tanpa ada hambatan
batas negara atau intervensi pemerintah. Telemedia tak hanya menghadirkan
sumber-sumber informasi, tetapi juga untuk bertukar informasi melalui e-mail,
serta aneka kegiatan seperti bisnis, keuangan, pemerintahan melalui e-commerce,
e-banking, atau e-goverment.
Sumber-sumber informasi itu disebut website yang dapat diciptakan siapa saja,
lembaga atau perorangan. Dalam perkembangannya website telah menjadi alat bagi
kelompok tertentu untuk mencapai tujuan, yang dapat bertabrakan dan melahirkan
information warfare. Berbagai website digunakan untuk menyerang Indonesia
dengan isu-isu strategik.
Tujuannya melemahkan posisi Indonesia serta menggalang solidaritas
internasional untuk menghancurkan Indonesia dengan memberi peluang kepada
beberapa provinsi untuk merdeka, lepas dari NKRI. Sejauh ini belum terlihat
perlawanan baik dari fihak pemerintah maupun nonpemerintah terhadap hostile
websites ini.
Ketegangan soal Ambalat muncul pertengahan Februari 2005 ketika Petronas,
Malaysia, mengumumkan kontrak eksplorasi minyak bersama perusahaan minyak
Inggris dan Belanda Shell di pantai timur Sabah, Malaysia Timur. Daerah itu
adalah wilayah Indonesia. Ketegangan meningkat karena Malaysia mengirimkan
kapal perangnya ke wilayah tersebut dan melakukan provokasi.
Ganyang Malaysia
Menarik pengalaman kehilangan pulau pulau Sipadan dan Ligitan, Indonesia cepat
bereaksi dengan menempatkan kapal perang, pesawat tempur F-16 serta menyiapkan
pasukan dan marinir di sekitar wilayah sengketa. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pun segera meninjau kesiapan angkatan bersenjata Indonesia di sekitar
Ambalat.
Perselisihan soal Ambalat ternyata juga telah melibatkan kekuatan maya dengan
melibatkan para hacker (orang yang mampu membuka data komputer pihak lain).
Bila kehadiran dan manuver kapal/pesawat kedua fihak dapat dilihat dengan
jelas, namun kesiapan para hacktivist tidak pernah diketahui. Secara fisik,
nyaris terjadi kontak senjata. Tapi para hacker kedua fihak, melalui internet,
sesungguhnya sudah terlibat kontak senjata.
Pelaku perang internet soal Ambalat ini bukan TNI atau Tentara Diraja Malaysia,
tetapi sukarelawan kedua fihak dengan menggunakan fasilitas internet yang
sampai sekarang tidak terungkap identitasnya. Dalam perang melalui internet
tersebut, hacktivist para fihak meluapkan emosi nasionalismenya masing-masing
dengan menyerang negara lawan dan berusaha mengganggu website lawannya.
Di tengah ketegangan diplomatik dan tarik urat di lapangan yang memuncak, baru
disadari fihak Malaysia bahwa sejak awal Maret 2005, berbagai website milik
pemerintah, departemen, dan universitas di Malaysia telah diserang para hacker
Indonesia. Hacker Indonesia menyusup ke server dan files mereka yang sensitif
dan menyampaikan pesan nasionalisme dalam membela Ambalat sekaligus TKI yang
diusir dari Malaysia.
Website Universiti Sains Malaysia dua kali dijebol hacker Indonesia dengan
memunculkan tampilan bendera merah putih, potret Bung Karno dan tulisan Gerakan
Ganyang Malaysia. Pada website milik Departemen PU (Public Works) seorang
hacker Indonesia menorehkan pesan: "Dengan hormat, Atas nama hukum, saya
perintahkan Anda, pemerintah Malaysia, untuk mundur dari wilayah Indonesia.
Janganlah terlalu rakus. Indonesia akhir-akhir ini sedang menghadapi hari-hari
naas. Bencana alam, penurunan kesejahteraan, dll. Negrimu sedang lebih
sejahtera dari Indonesia. Tidak tahu malukah anda? Untuk diketahui; Saya bukan
hacker".
Perlawanan Semesta
Hacker Malaysia pun tidak tinggal diam, mereka melakukan serangan balik
terhadap berbagai websites Indonesia termasuk website milik Departemen Dalam
Negeri. Kantor berita Malaysia-Bernama, pertengahan Maret 2005 melaporkan lebih
dari 80 website di Malaysia dan Indonesia menjadi korban akibat perang cyber
soal Ambalat. Setidaknya 36 website Indonesia dan 48 Malaysia menjadi korban
hacker nasionalis kedua fihak.
Cyber war dapat ditampilkan sederhana sebagai peringatan sampai ke serangan
mematikan pada situs situs e-commerce, e-goverment, e-military dan database
sensitif dari situs sistem pertahanan keamanan, kantor Presiden, departemen,
sistem perbankan, sistem transportasi dll. Kemampuan perang cyber pada saatnya
akan menjadi pendukung kedaulatan suatu negara. Potensi penguasaan cyber harus
terus dibina dan ditingkatkan apabila suatu negara ingin mempertahankan
kedaulatannya secara penuh.
Dalam kasus Ambalat, kepedulian Indonesia dalam memanfaatkan website ini
menunjukan adanya kemampuan. Itu memang belum mencerminkan kemampuan
menyelenggarakan website tandingan, tetapi telah membuktikan kemampuan
hacktivist Indonesia untuk menyerang website di Malaysia sebagai ungkapan
kepedulian mereka pada bahaya yang sedang mengancam negaranya.
Sudah saatnya pemerintah Indonesia beserta kelompok maupun perorangan yang
memahami teknologi dan arsitektur cyber bersinergi menyiapkan kemampuan
menghadapi konflik cyber. Pemerintah dan warga Indonesia yang mencintai negeri
perlu proaktif, untuk segera konsolidasi agar mampu menyerang dan
mempertahankan diri dalam perang maya ini, sebagai bagian dari sistem perang
semesta kita dalam membela NKRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar